Diambil dari : http://www.opinimasyarakat.com/
Individualis Sekaligus Sosialis
Oleh : Budi Praptono
Kelihatannya aneh, tidak masuk akal, atau kontradiktif. Tetapi, kalau kita renungkan, bukannya hubungan kita, tanggung jawab kita kepada Tuhan, adalah tanggung jawab individu?
Kenapa Bung Karno membuat istilah “Berdikari” berdiri di atas kaki sendiri, adalah suatu semangat jiwa yang tidak dikasihani, jiwa yang tidak tergantung, jiwa yang berusaha mengatasi permasalahan dengan segala kemampuannya; tetapi bukan berarti menolak bantuan, atau kerja sama, tetapi bantuan atau kerja sama yang tidak memasung kemandirian kita, bantuan atau kerja sama yang saling menguntungkan, dengan semangat saling menghargai.
Atau dengan kata lain, bantuan atau kerja sama, bukan menjadi tujuan, tetapi hanya sekedar sarana, dalam rangka untuk membuat tujuan agar lebih efektif dan efisien; dengan demikian, jangan sampai dengan adanya bantuan atau kerja sama, malah membuat tujuan menjadi melenceng atau terganggu.
Di sinilah adanya suatu semangat “tauhid murni” yakni hanya Tuhan yang Maha Esalah yang hanya layak digantungi, layak dimintai tolong, bukan kepada makhluk-makhluknya Tuhan, dengan beragam bentuknya. Tentunya sesama makhluk Tuhan adalah perlu dibangun semangat kerja sama yang saling menghargai.
Di mana letak sosialnya? Adalah pada semangat yang pada kewajiban kita sebagai makhluk sosial, dengan cara kita menikmati hak-hak kita secukupnya, maka kita akan mempunyai kekuatan untuk dapat membantu mengatasi permasalahan-permasalahan orang lain, yang secara struktural maupun kultural perlu untuk kita tolong.
Dengan demikian, dalam menyelesaikan kewajiban adalah dengan semangat dimulai dari kewajiban yang paling dekat atau yang paling mungkin dilakukan, baru semakin keluar dan seterusnya; dengan kita menjalani seperti ini otomatis dampaknya adalah kesalehan sosial.
(baca tulisan sebelumnya, bagian Kesalehan Sosial ( REVOLUSI JIWA BANGSA INDONESIA,JAWABAN DARI “REVOLUSI BELUM SELESAI-BUNG KARNO-Opini Masyarakat)
Ratu Adil, Satrio Piningit
Menunggu Satrio Piningit di luar diri kita, itu baik-baik saja, tetapi sebenarnya semangatnya, tugas tersebut adalah panggilan kita semua, dalam konteks dan skala Ratu Adil atau Satrio Piningit yang berbeda.
Coba, kalau kita renungkan, makna dari Satrio Piningit atau Ratu Adil “Satrio pinandito, pandito sinantrio”; adalah satrio yang menegakan keadilan, yang berlandaskan kehendak Tuhan atau kalau ulama, adalah ulama yang berjiwa satrio, berani menyampaikan dan bertindak yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah, menurut kehendak Tuhan, bukan atas dasar “pesanan sponsor” kelompok/golongannya saja atau sang penguasa yang dholim.
Apakah ini, bukannya tugas semua manusia di dunia? Kalau saya meminjam istilah di Islam, tugas manusia adalah sebagai khalifah di dunia, wakil Tuhan di dunia, untuk “memayu hayuning bawono”; sebagai pemimpin untuk membuat alam semesta menjadi sejahtera; di sini jelas adalah untuk seluruh alam semesta, tidak hanya untuk kelompok atau golongan saja.
Memang, Indonesia, perlu dipimpin Satrio Pinandito, tetapi Indonesia, kan tidak hanya presiden saja, ya ada pedagang, Pak RT, Pak Guru, tukang ojek, dll. Di sinilah letak permasalahan! Yang membuat bangsa Indonesia tidak maju, atau Indonesia tidak berkembang, yakni kerjaannya hanya menunggu kedatangan dewa datang dari langit “Satrio Piningit”, yang tiba-tiba bisa mengubah dalam waktu sekejap Indonesia menjadi Adil dan Makmur; tanpa kita berusaha untuk andil menjadikan Indonesia menjadi Adil dan Makmur.
Sudahkah kita mulai berusaha? Biarlah yang lain belum berubah kita mulai dari diri kita sendiri dulu. Kita tidak perlu menunggu orang lain. Jangan-jangan yang terjadi hanya saling menunggu saja. Jadi tidak ada yang memulai. Maka tidak salah yang terjadi adalah hanya sekedar menunggu datangnya “Satrio Piningit” saja.
Tetapi, saya pribadi bukannya tidak percaya mujizat Tuhan “apa yang tidak mungkin menurut Tuhan”, tetapi ini Hak Mutlak Tuhan. Artinya bukan menjadi urusan kita. Selamat berjuang untuk Indonesia menuju Adil dan Makmur.
Comments
Setiap Hakikat harus ada Syariatnya, dan semua Syariat pasti ada Maknanya (Hakikatnya)
Kalo saya boleh kasih gambaran jaman keemasan yang diramalkan orang2 terdahulu saya anggap (sementara) benar dan tidak salah karena baru teori saja. Andaikata saya anggap Satrio Pinandito adalah saklar sebagai pemicu lampu-lampu menjadi terang, maka juga satrio Pinandito/ Satrio Piningit itu pasti ada sebagai Pemicu Para Penerang2 yang ada di Indonesia yang mungkin saat ini bisa dikatakan mati termasuk dalam diri pribadi setiap rakyat indonesia. kejayaan pasti dikerjakan bersama, tidak mungkin dikerjakan sendiri oleh seorang peminmpin. secara syariat pemimpin sebagai pemicu itu harus ada yaitu yang dimaksud orang2 terdahulu sebagai Satrio Pinandito/ SAtrio Utomo/ SAtrio Piningit tersebut, harus nyata adanya secara Syariat dapat dilihat mata, dirasa dengan indra, dan seiring dengan hakikatnya pada saat itu saat pemicu itu bergerak maka pada amasa itu juga manusia pada khususnya bangsa indonesia menjadi satrio pula. karena ada istilah makmum/ pengikut itu tergantung pemimpinnya. kalo pemimpinnya berjiwa ksatrio maka pengikutnyapun minimal akan mendekati demikian, tapi jika pemimpinnya berhati buruk maka imbasnya juga dirasakan oleh pengikutnya/ rakyatnya.., jadi mari kita tunggu tanggal mainnya, dimana pemicu/ pemimpin yang dijanjikan datang dan rakyat indonesia pada umumnya juga berjiwa baik/ ksatrio. namanya piningit jadi ya ngga akan ada yang tau dong siapa beliau, jadi ya jalan mudahnya mari kita sama2 membangun diri kita masing2 minimal kearah yang lebih baik, petani padi pasti panen beras, orang baik juga pasti akan menuai kebaikan nanti.. hehe. salam,