Skip to main content

Menjadi diri sendiri, atau tidak sama sekali

Oleh : Ahmad Gibson al-Bustomi

Hidup adalah sebuah kepastian (faktisitas), dan menjalaninya adalah sebuah pilihan dari sejumlah kemungkinan. Tidak ada seorang pun yang lahir dan hidup menjadi dari masyarakat tertentu sebagai pilihannya, seperti halnya tidak ada yang memilihi untuk lahir sebagai suku bangsa Sunda, atau suku bangsa lainnya. Bahkan tidak ada pula yang (bisa) memilih terlahir sebagai manusia, binatang, tumbuhan atau salah satu dari benda mati yang ada di dunia ini. Faktalah yang mengatakan bahwa kita hidup sebagai manusia dari ras suku bangsa Sunda, atau yang lainnya. Sedangkan bagaimana kita menjalani kehidupan kita sebagai bagian dari suku bangsa Sunda adalah pilihan kita sendiri. Yang jelas kita tidak bisa merubah diri kita untuk tidak menjadi suku banhsa Sunda.

Setiap suku bangsa, selain dicirikan oleh kondisi fisiknya, juga dicirikan oleh struktur budayanya. Dan struktur budaya terlahir sebagai respons, atau sebagai strategi[1], terhadap persoalan-persoalan kehidupan yang dihadapi manusia. Persoalan yang terlahir dari keberhadapan manusia dengan lingkungan alam (baik yang tampak statis maupun yang berubah-ubah), masyarakatnya, dirinya sendiri dan dengan pola kehidupan masyarakat lain di luar lingkungan masyarakatnya sendiri (interaksi antar masyarakat dan budaya).

Strategi dan respons tersebut secara terus menerus dan bertahap membentuk struktur baku dalam kurun tertentu, dan secara dinamis mengalami perubahan pada kurun lainnya sesuai dengan kebutuhan dan tantangan yang dihadapinya. Itulah kebudyaan. Lintasan sejarah yang dilalui masyartakat dengan kebudayaannya itu membentuk kepribadian masyarakat secara bersama-sama. Kini kita mengenal kepribadian Sunda, Jawa, Batak, kepribadian timur, kepribadian Barat, dan lain sebagainya. Kepribadian bersama itu secara formal melahirkan apa yang disebut norma sosial-budaya. Norma-norma tradisi yang pada masyarakat tradisional tertuang dalam mite serta legenda yang hidup dalam masyarakat tersebut, dan terpatri dalam “bawah sadar” kehidupan masyarakatnya .

Kita mengenal, sebagaimana sering orang katakan, tentang karakter orang Sunda sebagai masyarakat yang lemah lembut, santun, cenderung mendahulukan orang lain dari pada dirinya sendiri, sebagai bersifat tertutup dan sebagai bersifat terbuka dan terus terang, cenderung tidak terlalu peduli dengan urusan orang lain, dan lain sebagainya. Orang sunda selain memiliki kecendrungan pragmatis pada sisi kehidupan kesehariannya, namun ia pun memiliki konsern terhadap persoalan-persoalan persenungan dan peningkatan kualitas spiritualnya. Pribadi yang memiliki Intensionalitas yang kadang sulit diduga. Karakter-karakter tersebut kadang disimbolkan oleh sejumlah tokoh individual yang diungkap dalam sejumlah legenda atau mite. Kita mengenal tokoh si Kabayan, Mamang Lengser, dan tokoh-tokoh besar lainnya seperti: Guruminda dan Dewi Asri (tokoh cerita mite Lutung Kasarung), Mundinglaya di Kusumah dengan Dewi Asri, Jaka Sabeulah, Sangkuriang, dan lain sebagainya. Cerita tersebut kini telah menjadi terkubur di bawah tumpukan puing-puing masa lalu ki Sunda dan bayang-bayang masa depan muda Sunda yang telah terasing dari budayanya. Masihkan muda Sunda mengenal tokoh-tokoh cerita tersebut? Penulis tidak pernah berani untuk menduga.

Muda Sunda mungkin bertanya-tanya, untuk apa kita mengenal tokoh cerita usang itu? Cerita yang hanya ada dan terlahir dari masa lalu yang gelap? Saya hanya bisa berkata, bahwa tidak ada cerita manusi ayang pernah menjadi usang, dan semua cerita tentang manusia senantiasa terlahir dari kegelapan masa lalunya. Yang ada hanyalah kebebalan kita karena silau dengan cahaya kilat yang hanya terang sesaat. Apakah kita harus berbohong pada diri kita sendiri, bahwa kita lebih pandir dari si Kabayan? Tidak lebih serakah dari Sangkuriang? Dan bukankah kita pun tidak lebih dari seokor kera yang tersesat di tengah rimba untuk menemu yang kita idamkan? Ketika bercermin di sisi sungai, kita pun terkejut dengan wajah dan wujud diri kita. Lalu, kita berusaha mengganti penampilan kita dengan penampilan orang lain. Berganti lagi dan berganti lagi; setiap hari kita senantiasa berusaha untuk merubah penampilan dan peran yang kita mainkan.

Bila Guruminda yang berwujud lutung (kera hitam) mampu berlaku jujur dan menerima keadaan sebenarnya, ia mampu mengembalikan wujudnya semula, setelah “mutiara” (bagian penting dari dirinya ditemukan, ….). Atau, Sangkuriang, yang walaupun telah menggenggam seambreg kesaktian, namun ia tetap harus menuntaskan ayunan langkahnya di haribaan seorang Ibu, asal muasal. Dan ketia ia gagal menggapainya yang opada akhirnya tidak pernah mampu mengenal asal-usulnya dan akhirnya ia mengalami “kehancuran diri” karena itu. Atau mungkin kita adalah Mundinglaya di Kusumah yang harus mati dan mati lagi sebelum akhirnya menemu apa yang dicari? Atau kita (muda Sunda) hanyalah sosok pun Boncel yang lupa akan diri dan asul-usul kita hanya karena kita mendapat sedikit kehormatan, jabatan.

Semua itu hanyalah cerita mite (realitas maya), tapi pada hakikatnya adalah gambaran dari kehidupan kita sendiri. Tapi siapa yang tidak tahu bahwa kehidupan modern sekalipun tidak pernah lepas dari keberadaan realitas maya tersebut. Demikian juga dengan agama. Pemikiran atau gagasan manusia tentang realitas ideal senantiasa bersifat maya. Validitas rasional (rasionalitas) dunia maya hanyalah masalah paradigma. Dan, paradigma tidak pernah luput dari perubahan dan senantiasa terbuka atas kritik.

Hal terpenting dari dunia maya adalah bahwa dalam dunia maya manusia menemukan kebebasan imajinatifnya. Apakah produk imaji itu memiliki dasar historisnya sebagai suatu peristiwa yang benar-benar terjadi (autentik) atau pun tidak menjadi tidak penting. Yang paling penting adalah mampu atau tidaknya kita menangkap “makna” atau “kearifan” dari risalah atau cerita yang kita sebut maya atau imajinatif itu. Sebagai ilustrasi balik, kalau pun peristiwa historis Proklamasi 17 Agustus 45 dan peristiwa penghiatan G-30S-PKI itu benar-benar terjadi dan memiliki seambreg bukti historis, tapi apabila kita tidak pernah mampu menangkap makna dan pelajaran dari peristiwea historis itu, maka persitiwa itu tidak lebih berharga dari cerita film Rambo bahkan dibanding cerita film Doraemon sekalipun yang ternyata lebih mampu membentuk karakter dan simbol-simbol tertentu dalam benak seorang anak, anak Indoensia.

Comments

Popular posts from this blog

Mapag Taun Hijrah...

Mapag Taun Hijrah... Ku : Mang Maya Saban taun nanggalan 1 hijriah geus mindeng kapanggih, tanggal hiji deui...tanggal hiji deui.... sanajan cek tadi waktu mah teu bisa dibalikan deui...tanggal hiji hijriah ayeuna, beda jeung tanggal hiji hijriah taun kamari. Tong boro kitu detik jeung menit anu ayeuna keur kalampahan ku urang pasti moal kalampahan jeung moal bisa disaruakeun kana detik menit anu kaliwat poe kamari komo taun kamari. Kukituna munasabah lamun urang seug reureuh sakeudeung ngaragap jeung ngarampa diri kana lalakon jeung lalampahan anu geus kaliwat (nginjeum basa urang arab mah cenah : "muhasabah"), nyaliksik tur nalek diri geus tepi kamana jeung kumaha tepi poe ieu teh...katut "rek kumaha" nantukeun lampah poe isuk?. Patalekan anu bisa ditujukeun ka diri minangka pribadi sajati anu mandiri , boh patalekan anu bisa ditujukeun kana beungkeutan diri-diri anu boga pamaksudan jeung pangharepan sarua . Saha aing, timana aing, rek kamana aing

Kepasrahan kepada Tuhan, Tidak Berarti Keterpasungan

Diambil dari : http://www.opinimasyarakat.com/ Kepasrahan kepada Tuhan, Tidak Berarti Keterpasungan Oleh : Budi Praptono Manusia pada dasarnya adalah bebas, tetapi dalam kebebasannya manusia harus memilih, bahkan tidak memilihpun, sebenarnya sudah memilih untuk tidak memilih. Apapun pilihan kita, yang tidak boleh dilupakan adalah konsekuen dan istiqomah dengan pilihan kita. Sudahkah kita konsekuen? Sudahkah kita istoqomah? Ini pertanyaan yang sering kita lupakan, alih-alih kita jalankan. Termasuk pilihan, kita pasrah atau tunduk patuh kepada Tuhan dan Tidak tunduk patuh kepada Tuhan atau diantara keduanya, adalah suatu kebebasan untuk memilih yang diberikan Tuhan kepada manusia. Kepasrahan kepada Tuhan, tidak berarti keterpasungan Jadi tidak benar, kalau bentuk kepasrahan kepada Tuhan secara penuh, adalah keterpasungan, ini merupakan pilihan yang penuh kesadaran dari manusia yang tercerahkan oleh Tuhan, yang sadar bahwa manusia hanyalah wakil Tuhan di dunia ini. Hukum seorang wak