Skip to main content

Kepasrahan kepada Tuhan, Tidak Berarti Keterpasungan

Diambil dari : http://www.opinimasyarakat.com/

Kepasrahan kepada Tuhan, Tidak Berarti Keterpasungan


Oleh : Budi Praptono

Manusia pada dasarnya adalah bebas, tetapi dalam kebebasannya manusia harus memilih, bahkan tidak memilihpun, sebenarnya sudah memilih untuk tidak memilih.

Apapun pilihan kita, yang tidak boleh dilupakan adalah konsekuen dan istiqomah dengan pilihan kita. Sudahkah kita konsekuen? Sudahkah kita istoqomah? Ini pertanyaan yang sering kita lupakan, alih-alih kita jalankan.

Termasuk pilihan, kita pasrah atau tunduk patuh kepada Tuhan dan Tidak tunduk patuh kepada Tuhan atau diantara keduanya, adalah suatu kebebasan untuk memilih yang diberikan Tuhan kepada manusia.

Kepasrahan kepada Tuhan, tidak berarti keterpasungan

Jadi tidak benar, kalau bentuk kepasrahan kepada Tuhan secara penuh, adalah keterpasungan, ini merupakan pilihan yang penuh kesadaran dari manusia yang tercerahkan oleh Tuhan, yang sadar bahwa manusia hanyalah wakil Tuhan di dunia ini.

Hukum seorang wakil, tentunya harus menjalankan apa saja yang diinginkan oleh yang diwakili, semakin 100% atau mutlak, maka semakin sempurnalah kita sebagai wakil.

Mau memilih yang mana? Manusialah yang diberikan Tuhan untuk bebas memilih, tentunya dengan segala konsekuensinya.

(Agar tidak timbul, interpretasi yang tidak pas, baca: REVOLUSI JIWA BANGSA INDONESIA,JAWABAN DARI “REVOLUSI BELUM SELESAI-BUNG KARNO” www.opinimasyarakat.com)

Pingin pinter sendiri, maju sendiri?

Pernyataan ini, disampaikan oleh pihak yang sinis seolah-olah orang yang tercerahkan adalah tidak mau tahu terhadap yang lain. Memang kesannya adalah begitu, tetapi kalau kita sadari, bahwa tugas manusia terhadap sesama, hanya sekedar saling mengingatkan saja.
Untuk berubah menjadi lebih baik terhadap perannya, adalah mutlak ada pada yang bersangkutan dan Hak Mutlaknya ada pada Tuhan saja.

Untuk sekedar menyampaikan saja, selain harus ada perintah dari Tuhan, atau ada permintaan dari yang bersangkutan, disamping itu juga harus mengikuti etika yang ada, sehingga tidak ada unsur pemaksaan.

Orang memang aneh, saya meminjam sindirian orang jawa “Diajak ora gelem, ditinggal gulung koming” Jadi kalau diajak, merasa dipaksa, tetapi kalau tidak diajak, tersinggung, dan menganggap orang lain, egois.

Dan, kalau mau jujur, kita ini nggak mau dipaksa, kenapa kita seneng memaksa orang lain?

Atau, kita ini sebenarnya pinginnya hasilnya baik, tetapi tidak mau berusaha, atau kalau nanti hasilnya tidak baik, maka menyalahkan orang lain yang sukses karena kerja keras? Egoislah, tidak soliderlah, dan masih banyak lah-lah yang lain, padahal bukannya tidak tahu, hanya pura-pura tidak tahu, yang pada dasarnya tidak mau.

Akan Lahir Pemimpin Yang Hebat

Manusia yang jiwanya tidak merdeka, akan mudah diintervensi atau dijajah oleh pihak lain, atau dengan kata lain rakyatlah yang menciptakan produk penjajah, karena wujud penjajah tidak akan berhasil, kalau berhadapan dengan rakyat yang jiwanya merdeka.

Maka, lahirnya pemimpin yang otoriter, diktator, tidak adil, atau dengan sebutan sejenis lainnya, muncul dari rakyat yang jiwanya terjajah, terpasung oleh apa saja yang bukan Tuhan.

Dengan semangat, pembebasan jiwa, maka tidak akan terbentuk kelompok-kelompok semu, apa karena keluarga, asal daerah, sekolahan, perguruan spiritual, agama, dll; Maka tidak akan terjadi pihak-pihak yang dapat memanipulasi atau memanfaatkan dari terbentuknya kelompok tersebut, apakah untuk kepentingan partai, bisnis, kekuasaan, dll, yang semuanya adalah untuk kepentingan duniawi semata, yang cenderung tidak adil. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa para elitlah yang tergoda untuk memanfaatkannya, yang cenderung pada kepentingan pribadinya.

Dengan semangat jiwa-jiwa yang merdeka, maka ikatannya adalah langsung pada nilai-nilai Ketuhanan itu sendiri, dengan demikian seandainya akan memilih pemimpin, maka pertimbangannya adalah nilai-nilai ilahiah itu sendiri, sehingga akan lahir pemimpin yang sesuai dengan nilai-nilai ilahiah.

Adil dan Makmur

Kenapa, koq bukan Makmur dan Adil ?
Tentunya, ini punya makna di balik Tujuan Negara tercinta ini.
Bukankah, Negara kita selama ini masih dikelola dengan semangat Makmur dan Adil, yakni dengan konsep “trickle down effect”, membuat pertumbuhan-pertumbuhan dulu, baru hasil pertumbuhan tersebut dibagi-bagi supaya adil.

Konsep ini, kelihatannya sangat bagus, sistematis dan menjanjikan, tetapi sebenarnya baik secara konsep, maupun secara pengalaman terbukti menjadikan hasil yang semakin lama semakin tidak adil.

Adil, konkritnya apa?
Jawabannya adalah bisa panjang lebar, tetapi saya punya model yang sederhana, tentunya namanya model tidak dapat mewakili secara utuh, tetapi kira-kira adalah bahwa kue pembangunan, yang dinikamti oleh masyarakat tidak boleh terlalu besar perbedaannya atau dalam bahasa statistik, variansinya tidak boleh besar, tetapi tidak mungkin dibuat sama dengan nol, baik secara filosofi, perbedaanlah yang membuat system menjadi hidup maupun secara proses, pasti terjadi variansi.

Fakta, membuktikan, Negara manapun di dunia, yang masyarakatnya dianggab lebih maju dari Indonesia, variansinya diusahakan kecil, sebagai contoh gaji tertinggi dan gaji terendah, perbandingannya maksimal sekitar 20 : 1, dan pajak kekayaan dan pajak keuntungan semakin tinggi, pajaknya semakin besar, bahkan di Negara-negara skandinavia malah bisa mencapai 50%.

Indonesia? Sudah sangat jelas, yang atas menyesuaikan sendiri “naik dengan pasti”, yang bawah yang sekedar menuntut UMR saja, harus demo yang bertele-tele, bahkan sampai ada yang berdarah-darah, yang belum tentu berhasil.

Dengan, didorong menuju variansi yang tidak besar, maka hasil perasan tadi dipakai untuk membangun fasilitas umum, jaminan, pendidikan, kesehatan, kebutuhan pokok yang lain.

Baik skala dunia, maupun di Indonesia, ketimpangan semakin melebar, sekarang ini di tingkat dunia, di Indonesia tidak jauh berbeda, bahwa :

10% penduduk, menikmati sekitar 90% hasil pembangunan.
90% penduduk, hanya menikmati sekitar 10% hasil pembangunan.

Apa sih dampak dari ketidak adilan tersebut?
Pertama, ternyata dengan variansi yang sangat lebar, mendorong orang semakin terkonsentrasi pada materi yang dia terima, bukan pada usaha meningkatkan prestasinya; dan ini tidak hanya berlaku yang di bawah, tetapi terjadi di semua level, maka yang di bawah wajar menuntut, tetapi yang diatas, gajinya dibuat terus meningkat bisa sampai 250juta per bulan.

Kenapa, ini bisa terjadi, ya tadi, orang tidak bangga terhadap prestasi, tetapi bangga dengan penampilan, yang berorentasi selalu pingin naik dan naik terus, pingin seperti yang di atasnya, kalau di Indonesia tidak ada, ya cari benchmark dari luar negeri; tidak sadar negeri kita ini bukan Singapura, Jepang, AS, standar kita beda; tetapi kalau pingin meniru kerja kerasnya, ya bagus, bahkan wajib.

Kedua, Kondisi yang timpang tersebut, berdampak selain ketidakharmonisan diantara umat manusia, dengan kerakusannya berdampak pada kerusakan alam yang semakin parah, banjir dimana-mana, angin ribut, es kutub mencair, pemanasan global, pencemaran lingkungan, dll (inilah yang merupakan satu dari lima ketakutan PBB, yakni masalah kondisi lingkungan yang menurun).

Coba kita kaji solusi alternatifnya:
Pertama, dari kelompok 90% kurang beruntung tadi, kita tingkatkan seperti yang 10% beruntung tadi.
Ini kelihatannya adil, tetapi selain susah, juga berpikir agak nakal, baru 10% penduduk yang menikmati saja, lingkungan sudah sangat parah, apalagi yang 90% penduduk, ikut-ikutan menikamati seperti yang yang 10% penduduk klas atas tersebut; apa tidak kiamat?

Ilustrasinya, seandainya suatu kampung ada yang membangun sebuah kolam renang, sudah membuat kampung tersebut sering kekeringan, bisa dibayangkan, kalau yang lain juga membangun kolam renang?

Kedua, kue pembangunan yang dinikmati berlebih oleh kelompok orang yang 10%, tadi diturunkan, yang hasil pengurangan tersebut baik lewat pajak, system penggajian, dll, dimanfaatkan untuk meningkatkan kelompok yang tidak beruntung, yang 90% penduduk tadi, termasuk untuk meningkatkan fasilitas umum, pendidikan, kesehatan, dll.
Ini, kelihatannya bagus, tetapi masih belum menyelesaikan masalah lingkungan yang sudah parah; kenapa? Karena total tingkat konsumsinya adalah sama tau tidak berkurang.

Ketiga, mirip seperti yang kedua, tetapi konsumsi diturunkan, agar lingkungan menjadi seimbang.

Masalahnya, apa? Ternyata niat kita, doa kita, tindakan kita, adalah seragam, yakni dalam rangka lebih kaya, lebih konsumtif, dengan beragam bentuknya, yang ujung-ujungnya ingin memperkosa alam.
Berarti ada yang salah tentang konsep makmur, karena kalau sudah benar, maka alam, pasti bersahabat dengan kita.
Makmur, itu binatang apa ?
Banyak konsep yang telah kita ketahui, tetapi ternyata yang kita ikuti adalah konsep hedonisme, kenapa ini bisa terjadi?
Ternyata, pendidikan yang kita terima sampai di perguruan tinggi, adalah diturunkan dari nilai-nilai semangat hedonisme, semangat duniawi, baik itu strategi pembangunan ekonomi, manajemen perusahaan, pemasaran, konsep kesejahteraan, dll.

Penjelasannya, bisa sangat panjang, tetapi ringkasnya sebagai contoh dalam strategi ekonomi, konsumsi didorong naik, agar perusahaan ada pasarnya, dengan pasar naik, maka perusahaan produksinya naik, sehingga kesempatan kerja naik, dengan demikian ada daya beli, dengan daya beli naik, maka konsumsi naik. Apa lama-lama daya dukung alam, masih mampu memenuhi keinginan manusia tersebut, yang makin lama, makin meningkat, akibatnya alam berontak.

Berarti, konsepnya salah, kenapa salah, sesuatu yang sudah benar, kalau dilaksanakan, alam semesta, akan mendukung.

Apa, yang dimaksud makmur yang sesungguhnya? Apa, bukannya kenikmatan batin atau kemakmuran jiwa?
Untuk menjawab ini, tentunya dengan jiwa yang tenang, tidak dengan nafsu, pasti seragam menjawab ”setuju”.

Bukannya tukang becak, banyak yang dapat merasakan kebahagiaan, sebaliknya banyak pejabat tinggi, pengusaha sukses, banyak yang tidak nikmat hidupnya? Ini semua untuk meyakinkan kepada kita, bukan materi yang membuat bahagia, tetapi rasa syukur kita, kepatuhan kita sebagai umat manusia dalam menjalankan perintah Tuhan.

Apakah, kita tidak perlu duniawi? Kita tidak akan bisa lepas dengan urusan duniawi, tetapi bukan menjadi tujuan, tujuan kita adalah membangun kepatuhan jiwa terhadap tugas mulia dari Tuhan, dengan sarana dunia, agar kehidupan kita bersama mendapatkan berkah.

Dengan demikian apapun yang kita lakukan, apa itu menata Negara, pembangunan, bermasyarakat, dll, dalam rangka membangun jiwa merdeka yang tunduk patuh kepada Tuhan. Kalau tidak, kesannya menyembah Tuhan, padahal sebenarnya menyembah makhluqnya Tuhan, bisa berupa harta, tahta, termasuk tempat ibadah, termasuk agama itu sendiri, “seperti tulisan sebelumnya bahwa agama itu bukan Tuhan, hanya sebagai pedoman untuk sempurna di mata Tuhan”.

Sehingga semangat yang dibangun adalah tidak sekedar mencari nikmatm tetapi mencari berkah; karena nikmat belum tentu berkah, tetapi kalau berkah pasti nikmat ”secara batin”.
Sebagai contoh, orang korupsi bisa-bisa merasa nikmat, tetapi tidak berkah; tetapi menolong orang yang kesusahan adalah berkah dan nikmat secara ”batin”.****

Comments

Popular posts from this blog

Mapag Taun Hijrah...

Mapag Taun Hijrah... Ku : Mang Maya Saban taun nanggalan 1 hijriah geus mindeng kapanggih, tanggal hiji deui...tanggal hiji deui.... sanajan cek tadi waktu mah teu bisa dibalikan deui...tanggal hiji hijriah ayeuna, beda jeung tanggal hiji hijriah taun kamari. Tong boro kitu detik jeung menit anu ayeuna keur kalampahan ku urang pasti moal kalampahan jeung moal bisa disaruakeun kana detik menit anu kaliwat poe kamari komo taun kamari. Kukituna munasabah lamun urang seug reureuh sakeudeung ngaragap jeung ngarampa diri kana lalakon jeung lalampahan anu geus kaliwat (nginjeum basa urang arab mah cenah : "muhasabah"), nyaliksik tur nalek diri geus tepi kamana jeung kumaha tepi poe ieu teh...katut "rek kumaha" nantukeun lampah poe isuk?. Patalekan anu bisa ditujukeun ka diri minangka pribadi sajati anu mandiri , boh patalekan anu bisa ditujukeun kana beungkeutan diri-diri anu boga pamaksudan jeung pangharepan sarua . Saha aing, timana aing, rek kamana aing